BASISBERITA.COM, Manado – Masyarakat Sulawesi Utara (Sulut) yang terdaftar sebagai pemilih, dinilai memilih pemimpin yang cerdas untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2024. Tak berpengaruh pada faktor primordialisme.
Demikian yang disampaikan Pengamat Pemerintahan dan Politik Sulut Taufik Tumbelaka kepada wartawan, Senin (12/2/2024).
Menurut dia, perilaku pemilih di Sulut yang cenderung kritis dan objektif sebenarnya bagian dari pembangunan politik.
“Di mana kualitas demokrasi akan tercermin dari saat proses, saat pemilihan dan muaranya hasil akhir,” tuturnya.
Namun tentunya, lanjut Tumbelaka, semangat pembangunan politik harus terus ditingkatkan agar sikap kritis terhadap pilihan-pilihan politik terus meningkat.
“Pemilik hak suara atau pemilih tidak terjebak dalam penciptaan suasana dimana memilih hanya karena kedekatan-kedekatan hubungan emosional tertentu seperti suku, agama, RAS dan aliran,” terangnya.
“Yang terpenting memilih karena meyakini kapasitas calon yang mana akan berpengaruh signifikan pada kemajuan daerah Sulut dan tentunya juga nasional,” sambungnya.
Dalam pengamatannya di lapangan menunjukkan keberpihakan pemilih pada pemimpin yang berlatarbelakang nasionalisme.
“Primordialisme itu kan sentimen ke RAS, suku dan agama. Kalau Sulut tidak laku begitu. Yang ada mereka memilih yang nasionalisme,” tuturnya.
“Di Sulut itu memilih pemimpin yang layak bukan yang tidak layak,” tambah Tumbelaka.
Dibeberkannya, perilaku pemilih di Sulut menentukan pilihannya sesuai dengan kualitas pemimpin. Dirinya mencontohkan Walikota Manado saat ini berdarah Tionghoa.
“Pemilih di Sulawesi Utara lebih cenderung memilih pemimpin yang memiliki track record dan pengalaman yang baik, memiliki kualitas. Serta punya visi dan misi ke depan yang membawa kesejahteraan rakyat. Jadi tak pandang agama, atau suku, apalagi RAS,” terangnya lagi.
Tumbelaka beralasan, pemilih Sulut sudah paham literasi politik. Inilah yang membuat pemilih menentukan pemimpin secara rasional.
“Masyarakat Sulut sudah terbiasa dengan pendidikan politik. Mereka memilih tidak ikut-ikutan dengan yang lain,” tuturnya.
Senada dengan Tumbelaka, Pengamat Politik dan Pemerintahan Sulut lainnya, Ferry Daud Liando menilai, pemilih kritis atau pemilih rasional adalah pemilih yang dipengaruhi oleh tawaran visi dan misi.
“Mana visi yang paling rasional, paling implementatif dan masuk akal untuk memenuhi kebutuhan dari seorang pemilih atau kelompok tertentu maka calon yang empunya visi itu pasti akan dipilih,” tuturnya, Senin (12/2/2024).
“Jadi dasar bagi seseorang dalam memilih adalah keyakinannya bahwa jika capres yang dipilihnya akan terpilih jadi presiden maka kebutuhan individu atau kelompok yang memilihnya akan terpenuhi,” sambung Dosen Kepemiluan Fisip Unsrat itu.
Walau demikian, lanjut Liando, populasi dari jenis pemilih ini sangat sedikit di Indonesia. Sebagian besar hanya oleh kalangan intelektual atau aktivis.
Perilaku pemilih di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh pemilih-pemilih pragmatis, sosiologis, apatis dan psikologis.
“Pemilih pragmatis akan ditentukan oleh imbalan yang ia terima. Tanpa imbalan maka ia tidak akan memilih,” ujarnya.
Lebih jauh, Liando mengatakan pemilih sosiologis tidak melihat kapasitas calon tapi melihat pada kesamaan agama, kesamaan etnik atau kesamaan daerah.
Sebab dasar bagi seseorang dalam memilih adalah karena hubungan sosiologis itu.
Lagi pula, pemilih apatis adalah pemilih yang trauma dengan kondisi politik di masa lampau. Ia tidak pernah yakin bahwa siapapun calon yang akan terpilih akan mampu mengubah nasibnya atau nasib bangsanya. Sehingga dari sifat apatismenya itu menyebabkan ia tidak akan memilih siapapun.
“Pemilih psikologis adalah pemilih yang cenderung melihat pada kondisi fisik calon. Kapasitas bukan soal, yang penting ganteng dan berwibawa. Jenis pemilih ini besar didominasi oleh pemilih ibu-ibu dan gadis-gadis muda,” pungkasnya.(sco/*)