BASISBERITA.COM, Manado – Perjuangan keadilan Pdt Hein Arina, ThD (HA, red) yang telah ditetapkan tersangka dan ditahan karena dugaan korupsi dana hibah ke Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), kini memasuki babak baru.
Penarikan gugatan praperadilan pada 5 Mei 2025 yang lalu ternyata bukanlah akhir dari langkah hukum Pdt HA yang saat ini masih menjabat Ketua Sinode GMIM.
Pada tanggal 6 Mei 2025 berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 023.1/SK.PID/MRJ-HA/V.2025, HA memberikan kuasa kepada MRJ Law Office dengan nama-nama tim advokasi sebagai berikut: Dr Michael Remizaldy Jacobus, SH, MH, Eduard Manalip, SH MH, Franklin Aristoteles A Montolalu, ST, SH, MH, Notje Oltje Karamoy, SH, James Rama, SH, Rosilin Masihor, SH, MH, Debie Z Hormati, SH.
Jacobus yang dipercaya keluarga untuk menjadi ketua tim advokasi mengatakan setelah menerima kuasa langsung tancap gas.
”Kami sudah mempelajari dokumen proposal, permohonan pencairan dana hibah, Naskah Perjanjian Hibah Daerah, Laporan Pertanggungjawaban Dana Hibah beserta dokumen lainnya. Bahkan beberapa saksi terkait perkara sudah kami wawancarai, sehingga ditemukan banyak kejanggalan dalam kasus ini,” papar Jacobus.
Lulusan dengan predikat Cumlaude Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti ini menyampaikan adanya kejanggalan yang ditemukan timnya telah dikonsultasikan dengan ahli hukum administrasi keuangan negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia yaitu Dr Dian Puji Nugraha Simatupang, SH, MH pada 10 Mei 2025 yang lalu.
Salah satu kejanggalannya, bebernya adalah objek tipikor yang ditetapkan penyidik adalah terkait penggunaan dana hibah setelah uang masuk ke rekening atas nama Sinode GMIM dan bukan ke rekening pribadi Pdt HA.
“Menurut ahli keuangan hukum keuangan negara Universitas Indonesia yang kami jumpai, hibah daerah itu dibagi dua yakni hibah kepada subyek hukum pemerintah dan/atau perusahaan milik pemerintah, dan hibah yang diberikan kepada subyek hukum non pemerintah,” tuturnya.
“Kalau dana hibah masuk ke rekening subyek hukum pemerintah/pemerintah daerah dan/atau badan usaha milik negara/daerah, maka itu masih uang negara/daerah atau uang ‘plat merah’ karena dalam neraca keuangan penerima hibah dari unsur pemerintah atau BUMN/BUMD itu tercatat pendapatan hibah pada instansi pemerintah/pemerintah daerah atau perusahaan ‘plat merah’. Sedangkan, hibah yang diberikan kepada subyek hukum non pemerintah, terhitung bukan lagi uang negara karena telah tercatat sebagai pendapatan hibah sinode GMIM atau subyek hukum non pemerintah lainnya,” terang Jacobus.
Advokat yang juga menjabat sebagai salah satu Penatua di GMIM Getsemani Madidir Wilayah Bitung 9 ini menerangkan bahwa untuk memastikan dalam kasus ini ada tindak pidana korupsi, maka perlu diperjelas dana hibah masih uang negara/daerah atau bukan.
Jacobus menegaskan semua pihak pahami dulu apa definisi yuridis ‘hibah’ supaya memiliki pengertian mendalam tentang kasus ini.
Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, menyebutkan: “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Berdasarkan definisi ini terdapat unsur-unsur ‘hibah’ yaitu: hibah adalah perbuatan hukum perdata berupa perjanjian atau persetujuan dua pihak, dimana yang satu berkedudukan sebagai pemberi, yang lain penerima, dan pemberi menyerahkan suatu barang kepada penerima secara cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali.
”Perlu diingat bahwa tidak ada definisi lain dari perbuatan hibah dalam Undang-Undang atau Peraturan lainnya terkait hibah, sehingga rujukannya definisi hibah secara yuridis tidak bisa-tidak harus tunduk pada Pasal 1666 KUHPerdata,” ungkap Jacobus.
Menurut penjelasan ahli hukum administrasi dan keuangan negara kepada tim advokasi Pdt HA, memang sumber dana hibah adalah dari uang negara/daerah, akan tetapi batasan kepemilikan negara/daerah atas uang yang beralih ke rekening subyek hukum lain non pemerintah, sangat ditentukan pada ‘mekanisme hukum apa yang mendasari peralihan uang’ tersebut.
“Jika uang negara/daerah beralih ke rekening subyek hukum non pemerintah atas dasar pinjam meminjam, maka itu masih uang negara/daerah, karena uangnya beralih penguasaan ke pihak lain tetapi hak kepemilikan terhadap uang tidak beralih. Sama halnya dengan uang negara/daerah yang ditransfer atas dasar perjanjian pekerjaan konstruksi kepada perusahaan, itu masih uang negara karena proyek yang dihasilkan akan tercatat sebagai aset negara, sehingga jika dibuat dibawa spek (under the spec) oleh Perusahaan akan dinilai sebagai kerugian negara,” tutur Jacobus.
Jacobus selanjutnya memberikan contoh yang disampaikan oleh ahli hukum administrasi dan keuangan negara bahwa pengalihan hak atas benda termasuk uang dalam sudut pandang hukum terjadi karena adanya peristiwa hukum atau perbuatan hukum.
“Peristiwa hukum itu bisa berbentuk peristiwa kematian. Nah jika seorang pemilik uang atau benda lainnya meninggal, maka aset itu akan beralih hak kepemilikan kepada ahli waris. Selanjutnya, peralihan hak karena perbuatan hukum itu seperti jual beli, hibah, wakaf, perjanjian kerja (pembayaran gaji majikan kepada pekerja), dan lain-lain. Saya komparasikan saja antara peralihan hak karena jual beli dan hibah ya. Pasal 1457 KUHPerdata tentang jual beli dan Pasal 1666 KUHPerdata tentang hibah serta pembayaran gaji pegawai, ketiga perbuatan hukum ini membawa akibat beralihnya suatu benda, tetapi bedanya jual beli adalah pengalihan hak yang disertai dengan kompensasi, sama halnya dengan pembayaran gaji pegawai yakni ada transfer uang tetapi atas dasar ada pekerjaan yang sudah atau akan dilakukan. Sedangkan, uang yang ditransfer karena hibah, uangnya sudah beralih hak tetapi tanpa ada kompensasi atau diberi secara cuma-cuma. Jadi sangat janggal jika ada uang yang sudah ditransfer dari rekening negara dalam transaksi jual beli atau dalam pembayaran gaji atau hibah yang jelas-jelas kepemilikan uangnya sudah beralih, lantas dikualifisir sebaga uang yang dikorupsi,” urai Jacobus.
Doktor hukum pidana yang menyelesaikan disertasinya dibidang korupsi ini mengatakan bahwa publik mesti paham benar legal history dari pengaturan hibah daerah.
“Ingat baik-baik ya, hibah itu dialokasikan ketika spending mandatory dalam APBD seperti pendidikan, kesehatan, infra struktur dan urusan wajib sudah tertata. Oleh karenanya hibah ini bersifat tidak wajib, karena tergantung pemerintah masih memiliki sisa dana atau tidak. Karena hibah adalah dana ‘sisa’. Itulah sebabnya, pemberian hibah kepada subyek hukum non pemerintah seperti Sinode GMIM itu pasti bersifat menguntungkan GMIM, tetapi didasari oleh perbuatan yang tidak melawan hukum yakni hibah,” tutur mantan komisi pemuda Sinode GMIM periode 2011-2014 ini.
Ketika ditanyakan soal telah terpenuhinya dua alat bukti yang mendasari penetapan tersangka dan penahanan pendeta HA, Jacobus mengatakan itu bukan berarti Pdt HA sudah terbukti bersalah.
“Menetapkan tersangka berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti itu kewenangan penyidik, tetapi hanya pengadilan yang dapat menguji apakah 2 (dua) alat bukti itu releven untuk memastikan apakah Pdt HA terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi. Jadi, jangan vonis bersalah seseorang sebelum waktunya. Tahun 2014, klien saya ditetapkan tersangka dan ditahan oleh Penyidik karena penipuan bahkan dengan dasar ada 2 (dua) alat bukti yakni 2 (dua) orang saksi dan alat bukti surat berupa Perjanjian serta kwitansi, tapi diputus onslag (lepas dari segala tuntutan pidana) oleh Pengadilan, karena bukan perbuatan pidana melainkan wanprestasi (ingkar janji). Tahun 2018, klien saya dituntut karena membakar Sekolah, polisi menetapkannya sebagai tersangka, dan diajukan sebagai terdakwa oleh Jaksa di Pengadilan, tapi pengadilan memutuskan tidak cukup bukti, bahkan hingga mahkamah agung keputusannya vriejspraak (bebas dari segala tuntutan hukum). Saat ini berkas perkara sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, dan kami masih yakin, Kejaksaan Tinggi Sulut akan memeriksa berkas perkara ini dengan teliti, objektif dan profesional,” ucap Jacobus.
Terkait adanya Laporan Hasil Audit BPKP yang menyatakan adanya dugaan kerugian keuangan negara, menurut Jacobus sebelum ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewiesjde), Pdt HA belum pasti bersalah.
“Tahun 2019, klien saya mantan bendahara inspektorat disalah satu Kabupaten di Sulut ditetapkan tersangka dan ditahan karena korupsi berdasarkan hasil audit BPK tapi diputus vriejspraak (bebas dari segala tuntutan hukum) oleh Pengadilan Tipikor bahkan hasil audit BPK tersebut dibatalkan oleh Pengadilan. Dan terhadap kasus dimaksud, Mahkamah Agung memutuskan untuk menguatkan putusan pengadilan, sehingga saat ini klien Saya sudah berdinas kembali. Itu fakta, bahwa hasil akhir tipikor dana hibah ini belum tentu memvonis Pdt HA bersalah,” tutup Jacobus seraya menambahkan kalau minggu depan timnya akan membeberkan hasil konsultasi dengan ahli hukum pidana Prof Dr Jamin Ginting, SH, MH, MKn, dari Universitas Pelita Harapan agar kasus ini dapat didudukan secara proporsional.(*)